-->

Notification

×

Iklan

Iklan

DPR Dimanjakan, Rakyat Terkapar: Kritik atas Ketimpangan Tunjangan dan Pajak Daerah

Thursday, August 21, 2025 | August 21, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-08T09:51:06Z

Media Al-Fikrah –  Di tengah tekanan ekonomi pasca-pandemi, publik di berbagai daerah dikejutkan oleh dua realitas yang kontras. Di satu sisi, anggota DPR RI menikmati kenaikan tunjangan dengan total penghasilan yang diperkirakan mencapai Rp100 juta per bulan. Di sisi lain, masyarakat di sejumlah daerah menghadapi lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga ribuan persen.

Berdasarkan regulasi yang berlaku—Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000, Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2003, serta Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015—anggota DPR RI mendapatkan berbagai fasilitas, mulai dari tunjangan rumah sebesar Rp50 juta, tunjangan beras Rp12 juta, hingga fasilitas transportasi Rp7 juta per bulan. Jumlah tersebut bahkan bisa lebih besar karena masih ditambah dana aspirasi, honor sidang, hingga biaya perjalanan dinas yang jika diakumulaskan bisa mencapai Rp100 juta atau bahkan bisa lebih.

Sementara itu, di akar rumput rakyat harus berjibaku menanggung kenaikan PBB yang dinilai memberatkan.

Kota Cirebon: sejumlah warga mengaku PBB mereka naik hingga 1.000%, dari Rp6 juta menjadi Rp65 juta (detik.com).

Kabupaten Jombang: warga menghadapi kenaikan hingga 1.202%, bahkan ada yang protes dengan membayar pajak menggunakan uang receh (kompas.tv).

Semarang: laporan menunjukkan kenaikan tarif hingga 400% (tempo.co).

Pati: kebijakan kenaikan PBB 250% sempat memicu aksi demo besar dan akhirnya dibatalkan oleh Bupati (tirto.id).

Menurut regulasi fiskal, seharusnya kenaikan PBB tidak boleh melebihi 100% dari tarif sebelumnya. Namun kenyataannya, beberapa daerah menetapkan kebijakan di atas ambang batas tersebut, menimbulkan pertanyaan besar terkait akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah.

Fenomena ini memperlihatkan paradoks akut: pejabat negara menikmati fasilitas mewah yang bersumber dari pajak, sementara rakyat justru terhimpit oleh beban fiskal yang kian berat. Situasi ini bukan hanya ketimpangan ekonomi, melainkan bentuk ketidakadilan struktural yang dilegalkan oleh sistem.

“Ketimpangan ini menandakan wajah politik yang elitis. Negara seharusnya berpihak pada rakyat, bukan menambah beban mereka dengan kebijakan fiskal yang tidak adil,” ujar Muhammad Hasani, Wakil Ketua PMII Rayon Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, dalam keterangan tertulisnya.

Hasani menegaskan, mahasiswa sebagai kekuatan moral harus mengambil peran kritis untuk menolak normalisasi ketidakadilan ini. Menurutnya, kesejahteraan negara tidak boleh dimonopoli oleh segelintir elit yang duduk nyaman di ruang ber-AC, sementara rakyat kecil harus berjuang keras membayar pajak demi bertahan hidup.

“Sudah saatnya publik menuntut kebijakan fiskal yang transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat kecil. Negara tidak boleh hanya menjadi pelayan elit, tetapi harus hadir untuk kesejahteraan semua,” pungkasnya. 

Penulis: Muhammad Hasani (Wakil Ketua PMII RAYON FEBI UINSA 2025 - 2026)

Editor: Saifullah Nurdin (Anggota Biro Advokasi)

×
Berita Terbaru Update